TIMES TIMIKA, GRESIK – Di sudut pasar tradisional Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, seorang nenek duduk dengan tenang di lapaknya. Di depannya hanya ada tauge segar dan kue lempok, kue tradisional khas Gresik berbahan dasar kacang tunggak. Kue itu berbentuk bulat kecil, manis, dan gurih, tetapi tidak banyak lagi yang menjualnya. Nenek Muniya, begitu ia dipanggil, masih gigih berjualan meskipun usia telah menggerus kekuatannya.
“Anak-anak ku akeh nduk, tapi kabeh wes merantau nang Jakarta, mencar-mencar (Anak-anak saya banyak nak, tapi semua sudah merantau ke Jakarta, berpencar-pencar. red.),” kata Nenek Muniya, Minggu (15/09/2024)
Ia yang mengaku sebatang kara ini, berkisah. Ia berdagang sejak muda. Dulu, ia berjalan kaki keliling desa untuk menjual dagangannya. “Aku dodolan ngene wes suwe nduk, sek perawan nganti saiki, biyen aku dodolan nyambi keliling-keliling deso, saiki yo wes nak kene wae (Aku berjualan seperti ini sudah lama, sejak masih perawan hingga saat ini, dulu aku berjualan sambil berkeliling desa, sekarang sudah menetap di pasar saja. red),” kenangnya.
Pendapatan sehari-hari berjualan tak menentu. Namun ia mengaku ongkos ojek dari rumahnya yang jaraknya cukup jauh dari pasar, ongkosnya sekitar Rp40 ribu. “Aku biasane ngompreng budal sak molene, tekan omah nang pasar entek petang puluh ewu (Saya bisanya ngojek pulang pergi pasar habis empatpuluh ribu. red.),” ungkapnya.
Di usia yang ia sendiri lupa berapa, mestinya Nenek Muniya bisa menikmati masa tuanya dengan tenang. Namun, kenyataan berkata lain. Dengan anak-anak yang semuanya merantau ke kota besar dan ia terpaksa harus berjuang untuk hidup di tengah keterbatasan.
Nenek Muniya adalah gambaran nyata dari tantangan besar yang dihadapi lansia di Indonesia saat ini.
Potret Lansia di Indonesia
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 jumlah lansia di Indonesia mencapai 10% dari total populasi. Sebagian besar mereka tinggal di pedesaan. Banyak dari mereka masih harus bekerja di usia senja untuk mencukupi kebutuhan dan bertahan hidup, bahkan di saat kondisi fisik sudah tidak memungkinkan.
Lansia seperti Nenek Muniya menjadi simbol dari kurangnya perhatian terhadap kelompok usia ini.
Mereka adalah potert lansia yang masih minim untuk mendapat jaminan sosial dari pemerintah. Sistem jaminan sosial di Indonesia masih jauh dari ideal. Program seperti Jaminan Hari Tua atau Bantuan Sosial Lansia hanya menjangkau sebagian kecil lansia. Kadang, jumlah nominalnya sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Meraka juga adalah potret lansia yang sangat minim dapat fasilitas sosial dari negara. Pusat perawatan lansia atau nursing home masih langka di Indonesia. Kalau pun ada, biayanya sulit dijangkau oleh masyarakat kelas bawah. Banyak lansia akhirnya harus tinggal sendiri atau hidup seadanya seperti Nenek Muniya.
*Kritik Penanganan Lansia di Indonesia*
Kisah Nenek Muniya menunjukkan celah besar dalam sistem penanganan lansia di Indonesia.
Meski pemerintah memiliki program bantuan untuk lansia, banyak yang tidak tepat sasaran. Lansia yang benar-benar membutuhkan, seperti Nenek Muniya, sering kali tidak terjangkau karena kurangnya pendataan atau prosedur yang terlalu rumit.
Negara juga masih kurang dalam hal pembinaan bagi lansia yang masih produktif seperti Nenek Muniya yang sebenarnya masih memiliki semangat untuk bekerja. Sayangnya, tidak ada program khusus yang mendukung lansia produktif agar dapat bekerja dengan lebih layak. Misalnya melalui pelatihan keterampilan ringan atau akses ke pekerjaan yang tidak terlalu menuntut fisik.
Itu belum soal stigma sosial terhadap lansia miskin. Masih banyak orang menganggap lansia yang bekerja adalah hal yang biasa di Indonesia, tanpa menyadari bahwa ini adalah bentuk kegagalan sistemik negara dalam menyejahterakan lansia. Stigma seperti justru menghambat banyak upaya yang lebih mendalam tentang pentingnya meningkatkan kesejahteraan lansia.
Nenek Muniya dan jutaan lansia lainnya sebenarnya tidak membutuhkan belas kasihan. Mereka hanya ingin hidup dengan layak, dengan akses ke kebutuhan dasar, dukungan keluarga, dan lingkungan yang ramah lansia.
Pemerintah, masyarakat, dan keluarga harus bersinergi untuk menciptakan sistem yang lebih baik bagi lansia. Dengan pendekatan yang lebih terencana, kita seharusnya dapat memastikan bahwa tidak ada lagi lansia yang harus berjuang sendirian di usia senja mereka.
Harusnya, kita dan negara ini, bisa menarik pelajaran banyak dari potret lansia Nenek Muniya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Nenek Muniya, Potret Lansia yang Terlupakan di Indonesia
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |